Penerapan Syariat Islam Aceh di Tengah Badai Stigma Negatif - Suara Aceh

Breaking News

LightBlog
LightBlog

Jumat, 29 Mei 2020

Penerapan Syariat Islam Aceh di Tengah Badai Stigma Negatif


Oleh: Adunovic


Negeri satu-satunya di Indonesia yang menerapkan syariat Islam sebagai nomenklatur bagi kehidupan sosial, budaya dan kemasyarakatan juga utamanya keteraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan adalah Aceh, namun benarkan keutamaan melaksanakan aturan hukum Islam di Aceh telah menunjukkan perubahan yang signifikan bagi kehidupan umat di Aceh?

Terdapat berbagai fenomena yang bertolak belakang atas apa yang sepatutnya diterapkan di Aceh, hukum Islam berlaku dan diberlakukan hampir sesuai dengan kehendak kekuasaan dan para pemuka agama di dalam Pemerintah Aceh, ini menjadi catatan penting atas sikap dan akhlak pemimpin Aceh hari ini baik dari kalangan umara (eksekutif) maupun kalangan ulama Aceh (pemuka agama).

Beredar berbagai ketidak-adilan dalam penerapan hukum cambuk, pada video yang tersebar di media sosial berisi eksekusi hukuman cambuk bagi warga biasa dengan istri pejabat di Aceh, sebentuk penghinaan terhadap lumpuhnya keberadaan atas keadilan hukum yang harusnya dijalankan tanpa pandang bulu, namun dari video beredar sejak setahun tersebut yang mencambuk lebih keras bagi terhukum orang biasa dibanding istri pejabat kian menjelaskan bahwa hukum Islam yang diterapkan di Aceh adalah sesuai kehendak kekuasaan, tajam ke bawah dan penuh intrik busuk.

Dengan fenomena tersebut yang masih sebagian kecil semata, kiranya dapat dijadikan cemeti, penampar lamunan kekuasaan orang Aceh yang saat ini dianggap telah memimpin di negerinya sendiri dengan adanya partai lokal maupun kemudahan menerapkan aturan secara istimewa sebagaimana hasil kesepakatan dengan Indonesia secara nasional.

Aceh dalam catatan penerapan syariat Islam mengalami berbagai situasi yang sangat riskan, bahkan memalukan, antaranya; perlindungan keluarga penguasa yang seharusnya ikut kena hukum cambuk, pentas waria di hotel yang dibubarkan oleh warga, prostitusi online, judi online, riba dan prakter koperasi bodong dan razia hotel berlabel syariat juga pernah begitu viral mencoreng citra ke-Acehan yang selama ini dianggap mulia sebagai tanah Serambi Mekkah, berikut pula adegan 'wik-wik di atap kubah mesjid Saree' yang sontak menjadi tamparan buruk bagi pemimpin di Aceh tahun lalu.

Masih banyak lagi catatan-catatan buruknya citra Aceh yang melandaskan keadaban Islam serta citra berpolitik menjunjung tinggi nilai-nilai Islam namun tenyata buah dari omongkosong itu malah menjadi stigma buruk oleh pandangan masyarakat luar Aceh terhadap negeri tersebut.

Jika mereka yang di luar Aceh memberi stigma negatif terhadap Aceh kita tak perlu membantahnya karena semua itu memang benar adanya walau tidak semua namun memang kebanyakan seperti yang mereka tuduh.

Mengapa hal ini sampai terjadi di negeri ini? Tentu ini menjadi pertanyaan besar bagi kita. "Umara hanya memikirkan kekuasaannya sedang ulama hanya memikirkan Dayah-nya."

Peristiwa terhangat saat ini menunjukkan fenomena baru pula tentang Aceh, ketika Dana Dayah disulap umara maka ulama pun bersuara.

Ketika riba dan maksiat merajalela, ulama hanya bisa menutup mata. Hidup umat sudah nafsi-nafsi tiada lagi yang mencegah dan menasihati lalu mengajari mereka mengenal Ilahi Rabbi seperti yang dilakukan oleh ulama-ulama Sufi dahulu kala.

Mereka menjemput umat dalam lubang dosa, menasehati, mengajari hingga mereka mengenal diri. Cara seperti telah diberikan contoh oleh indatu kita Abu Syiah Kuala, mengapa kita malah berlomba-lomba membangun Dayah yang megah sedang umat terlunta-lunta tanpa arah.

Tugas ulama bukanlah menunggu bola tapi menjemput bola, jika ulama sudah menjemput bola turun ke tengah-tengah kehidupan realita umat, maka sahlah ia dapat disebut sebagai Ulama Warisatul Ambiya, ulama penerus para nabi dan rasul Allah.

Berbagai fakta dan pujian disebalik sikap munafik untuk mampu mengakui kekurangan-kekurangan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh harus mampu ditafsir sebagai tingkat bercermin pemimpin-pemimpin Aceh di segala lini.

Sikap paham dan mengenal diri ini penting sekali menjadi penyadaran kolektif agar bangsa Aceh tidak kembali ditegur, meskipun teguran itu datangnya dari Alam Raya semesta milik Allah, jadikan sebagai cambuk pengingat, agar umat Islam tidak makin termurkai apabila justru disuguhi kenikmatan terus-terusan.

Sepantasnya seluruh masyarakat Islam di Aceh dapat kembali menginsyafi sudah sejauh mana penerapan syariat Islam di Aceh terlaksana dan tertata, jangan sampai negeri yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah tinggallah nama dan jika melihat realita di Aceh hari ini maka label tersebut sangat tak pantas untuk kita terima?

Penulis adalah jurnalist freelance berdomisili di Banda Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LightBlog