Banda Aceh - Forum LSM melakukan refleksi 15 Tahun
Perdamaian Aceh, Rabu 25 November 2020, di Hermes Palaca, Hotel, Banda Aceh.
Sekretaris Jenderal Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan kepada koranaceh.net mengatakan Banyak perkembangan yang terjadi di Aceh selama proses perdamaian ini, baik dari sisi demokrasi, penghargaan terhadap hak asasi manusia, politik, dan pembangunan, katanya.
Namun tidak semua perkembangan itu sesuai harapan yang diinginkan masyarakat. Dalam perspektif lain, ada yang menganggap perdamaian itu masih belum sesuai dengan konsep pembangunan yang diinginkan. Pandangan ini muncul setelah melihat banyaknya anggaran pembangunan yang mengalir untuk Aceh, tapi hasil yang diperoleh belum seperti yang ditargetkan, tambah Dirman
Sebagai contoh, pasca perdamaian 2005 Aceh mendapat dana dana otonomi khusus selama 20 tahun, terhitung 2008 hingga 2027 sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sampai tahun 2019, Aceh telah menerima Dana Otsus berskisar Rp 73 triliun.
Atau jika dirata-ratakan, setiap tahun Aceh mendapat dana Otsus berkisar Rp 8 triliun. Jika ditotalkan dengan APBA, anggaran pembangunan Aceh setiap tahun lebih dari Rp 23 triliun. Belum lagi anggaran pembangunan yang bersumber dari APBN.
Tidak heran jika ada yang mengatakan kalau dana yang mengalir untuk Aceh pasca perdamaian cukup besar. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah aliran dana itu telah mampu melahirkan banyak perubahan untuk Aceh?
Sebagaima harapan yang berkembang di masyarakat, setidaknya ada tiga perubahan besar yang terjadi di Aceh pasca perdamaian, yaitu, pertama, terwujudnya perdamaian yang hakiki tanpa menghadirkan kembali konflik baru antara Aceh dan Jakarta; Kedua, terciptanya kesejahteraan masyarakat yang indikatornya dapat dilihat dar tingka kemiskinan dan gini rasio; dan ketiga, adanya sistem penanganan korban konflik yang bijak untuk dapat mereduksi benih dendam yang pernaha ada.
Setiap orang tentu saja punya cara pandang yang berbeda dalam menilai tiga elemen di atas. Untuk masalah konflik Aceh dan pusat misalnya, bisa jadi ada yang menganggap sudah tidak ada lagi. Tapi sebagian tetap melihat potensi itu masih ada, terutama jika melihat sengketa bendera Aceh yang sampai sekarang belum jelas. Bendara itu sudah disahkan di tingkat daerah, tapi tidak disetujui oleh Pemerintah Pusat. Jika ini terus berlarut, bukan tidak mungkin masalahnya semakin rumut.
Sementara untuk masalah kesejahteraan rakyat, Aceh tetap saja menjadi sorotan karena tingkat kemiskinan di daerah ini masih tinggi. Bahkan Aceh merupakan daerah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera atau tertinggi ke-5 di Indonesia setelah Papua, NTT, Maluku dan Gorontalo. Artinya, dana jumbo yang mengalir untuk Aceh belum mampu meningkatkan kesejahteraan tersebut.
Apalagi jika melihat system penanganan korban konflik, Aceh sepertinya bergerak di tempat. Terkesan korban konflik itu dilupakan begitu saja. Benar bahwa Pemerintah Aceh telah membentuk KKR untuk melakukan pencatatan terhadap kasus kekerasan di masa lalu, tapi nyatanya keberadaaan KKR itu bagaikan ada dan tiada, sehingga penanganan korban konflik belum menunjukan kepastian.
Tiga inilah yang akan diangkat sebagai topic bahasan dalam sebuah seminar berkaitan dengan refleksi 15 tahun perdamaian Aceh. Sejumlah nara sumber dan tokoh yang berkompeten akan diundang hadir pada seminar ini, sehingga hasilnya diharapkan bisa memberikan pencerahan kepada public tentang pencapaian Aceh selama 15 tahun pasca perdamaian.
Secara garis besar, tujuan dari seminar ini, antara lain:
1. Melakukan tinjauan kritis terhadap perjalanan perdamaian Aceh, khususnya membahas tentang sengketa bendera Aceh antara pusat dan daerah. Seminar ini diharapkan bisa mencari upaya penyelesaian terhadapo sengketa itu.
2. Memberi pencerahan kepada masyarakat tentang progres pembangunan Aceh pasca perdamaian.
3. Menampung masukan dari akademisi, ulama dan tokoh masyarakat terkait upaya untuk membangun Aceh yang lebih baik di masa depan.
4. Menemukan pola terbaik dalam memberdayakan keberadaan KKR dan penanganan korban konflik.
5. Mengevaluasi keberadaan dan pemanfaatan dana Otsus selama 11 tahun terakhir.
6. Membangun semangat transparansi dan kebersamaan sehingga pembangunan Aceh menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah dan elemen masyarakat.
Dari seminar ini diharapkan kita bisa mendapatkan infprmasi tentang hasil pembangunan Aceh sehingga bisa melahirkan sebuah dokumentasi tentang progress perdamaian dan pembangunan Aceh setelah 15 tahun perdamaian.
Seminar diselenggarakan :
Pada : Rabu, 25 November 2020
Tempat : Hermes Hotel Banda Aceh
Pukul : 09: 00 s/d 16:00 WIB
Sesi Seminar
1. Membahas Aceh pasca Perdamaian, antara MoU, konflik bendera dan Milad GAM
Nara sumber :
- Nasir Djamil S.Ag, M.Si ( Anggota DPR RI )
2. Dana Otsus dan Kesejahteraan Rakyat
Nara sumber:
- Rustam Efendi (Akademisi / pengamat ekonomi)
3. Penanganan dan Keadilan Korban Konflik
Nara sumber :
- Afridar Darmi Ketua KKR Aceh
4. Peran Partai Politik Lokal dalam Demokrasi Aceh Pasca Perdamaian
Narasumber :
- Drs. Arsy (Kesbangpol Aceh)
5. Moderator / Fasilitator
- Dr. Otto Syamsuddin ( Akademis Unsyiah / Mantan Komisioner Komnas Ham)
Seminar akan mengundang peserta dari Pemerintahan, akademisi, ulama, tokoh masyarakat, aktivis pemuda, BEM, aktivis perempuan, dan LSM[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar